Kritik seni adalah kritik yang digunakan dalam
memahami dan mengevaluasi karya. Aktivitas kritik seni memiliki peranan penting
dalam kehidupan seni dan masyarakatnya untuk mengungkap berbagai ragam nilai,
makna dan permasalahan tentang karya seni.
Sumber nilai dari setiap karya seni pada dasarnya berkaitan
langsung tiga komponen utama yang menunjang kehidupan seni di dalam kehidupan
masyarakat. Tiga komponen kehidupan seni tersebut meliputi: (1) seniman, (2)
karya seni, (3) penghayat. Tak akan pernah ada kehidupan seni dalam masyarakat
manapun bila salah satu komponen tersebut ditiadakan. Tiga komponen tersebut
saling berinteraksi dan menentukan nilai setiap karya seni. Maka tidak
sepantasnya evaluasi karya seni dilakukan dengan mengabaikan salah satu dari
komponen sumber nilai tersebut bila ingin mendapatkan pemahaman mengenai
maknanya secara utuh. Kritik seni holistik merupakan cara pemecahannya (HB.
Sutopo, 1995:8).
Kritik holistik menghargai seniman dengan segala kemampuan
dan kekhususannya yang memiliki gagasan dan mencipta karya seni, juga konteks
budayanya yang meresap ikut membentuk gagasan dan idium ekspresinya. Kritik
holistic juga menghargai karya seni sebagai objek estetik dengan segala elemen
yang ada yang membentuk suatu kesatuan yang khas, sebagai fakta objektif yang
memiliki potensi sebagai pacu penciptaan nilai hayatan. Demikian pula
menghargai penghayat dengan segala kondisi psikologisnya dan sebagai pelaku
pencipta makna yang memiliki konteks budayanya sendiri yang perlu
diperhitungkan dalam menyusun kesimpulan kritik. Ketiga factor tersebut saling
berkaitan dan bergantung dan tak satupun dapat ditiadakan serta dipisahkan.
1. Seniman Sebagai Sumber
Informasi Genetik
Informasi Genetik meliputi kondisi seniman dengan pengalaman
khususnya, lingkungan fisik seniman dengan konteks budayanya, proses dan teknik
penciptaannya, dan lain-lain yang semuanya berkaitan dengan yang ada sebelum
karya seni selesai diciptakan. Beragam hal tersebut merupakan kondisi yang yang
bisa membentuk atau mengambil bagian dalam proses pembentukan karya seni, yang
kesemuanya disebut factor genetic (HB. Sutopo, 1995:11)
2. Karya
Seni Sebagai Sumber Informasi Objektif
Sumber informasi objektif
diperoleh melalui pengamatan terhadap karya seni yang telah selesai diciptakan.
Informasi yang dapat ditangkap meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan
elemen-elemen yang ada dalam karya seni tersebut dan struktur yang terbentuk di
dalamnya. Karya seni di pandang sebagai satu kondisi objektif yang dinyatakan
bisa dibentuk oleh karya seni itu sendiri. Standar yang nyata ada pada karya
itu sendiri, bukan dating dari luar karya seni yang dipandang sebagai factor
ekstra estetik bahkan sering dipandang sebagai non estetik.
3. Penghayat
Sebagai Sumber Informasi Afektif
Informasi afektif
meliputi segala tanggapan yang dirasa dan timbul dalam diri penghayat yang
menghadapi karya seni. Penghayatan ini memunculkan beragam tafsir makna nilai
akibat melakukan interaksi secara dialektis dengan karya seni di dalam proses penghayatan
yang mendalam (HB. Sutopo, 1995: 12). Pengalaman, budaya, kondisi psikologis,
dan kreativitas penghayat menentukan terjadinya kualitas nilai hayatan.Kritikus
sebagai penghayat ahli hendaknya memiliki kemampuan kreatif dan imajinatif
sebagai halnya seniman. (Kuspit, 1984).
Contoh kritik seni holistik
Lukisan diatas
merupakan Karya Sudjojono yang berjudul “Di Depan Kelambu Terbuka” dengan teknik oil on
canvas yang dibuat pada tahun 1939. Sudjojono lahir di Kisaran, Tebing Tinggi
Sumatra Utara pada sekitar tahun 1913. Kedua orang tuanya adalah migran dari
Jawa yang bekerja sebagai kuli kontrak di perkebunan Deli, pada awal abad
ke-20. Di dalam lukisan ini sudjojono
melukiskan seseorang yang sedang duduk di atas kursi dengan posisi duduk yang
agak serong kekanan serta tangan kanan
bersandar pada bahu kursi dan tangan kiri berdiri tegak dengan memegang tepi
kursi. Seseorang tersebut memakai baju
bermotif bunga-bunga dengan warna yang berwarna-warni dan bawahan hitam dengan
sedikit motif gerigi yang berwarna orange kecoklatan. Seseorang tersebut
berkulit kecoklatan yang dapat dilihat dari pewarnaan kulit tangan serta bagian
atas yaitu leher dan raut muka seseorang tersebut lebih putih dari warna kulit
tangannya. Mata yang bulat dengan bola mata berwarna hitam pekat, alis mata
yang berwarna hitam pula serta bibir yang tertutup dengan warna coklat
keabu-abuan. Rambut yang berwarna hitam dan telinga yang terlihat sedikit
dengan warna putih kecoklatan. Kursi yang ia duduki berwarna coklat tua dan
coklat muda (cream) kemudian dibelakang kursi yang ia duduki terdapat kelmbu
yang berwarna putih yang telah tercampur oleh warna putih keabu-abuan sehingga
terlihat kusam. Kelambu itu digambarkan dengan terbuka dan disana terlihat
goresan warna hitam dengan motif seperti sulur-suluran dan garis-garis. Kemudian
dibagian atas kelambu terdapat motif seperti sulur-suluran dengan kontur yang
berwarna putih serta dibagian kiri wanita tersebut terdapat gambar objek
berwarna merah dan hijau sedangkan disebelah kanannya hanya berwarna hijau. Background
yang digunakan adalaha warna coklat campur hitam, kuning dan coklat muda.
Dengan meningkatnya pemakaian batik di kalangan masyarakat, baik sebagai busana maupun sebagai interior, maka munculah batik yang disebut dengan batik printing yang sekarang mendominasi pasaran dibandingkan dengan batik tulis dan cap. Selain harganya yang lebih murah dibandingkan dengan batik tulis maupun batik cap, mutu dan corak batik printing ini makin baik dan kian menarik. Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa batik printing bukanlah sebuah kain batik, melainkan adalah cita atau tekstil dengan motif batik. Sebenarnya pemakaian batik printing sah-sah saja asalkan yang memakai batik printing mengetahui bahwa itu bukanlah sebuah batik yang sesungguhnya.
Contoh kritik seni holistik
“
Di Depan Kelamboe Terboeka ”
86
cm x 66 cm
Oil
on canvas
Tahun
1939

Lukisan ini apabila
dilihat menggunakan dominasi warna monokromatis dan cenderung gelap yang telah
tergambar pada warna background dan bawahan baju orang tersebut pakai yaitu
warna hitam dan sedikit warna coklat selain itu juga dapat dilihat dari warna
kelambu yang putih keabu-abuan. Selain warna yang mendominasi juga dalam
lukisan tersebut mengandung unsur garis yang dapat dilihat dari kontur kursi
dan objek manusia yang ada pada lukisan tersebut serta penggambaran seseorang
yang sedang duduk pada kursi berwarna coklat dan cream digambarkan lebih jelas
daripada background pada lukisan untuk menonjolkan subject matter lukisan. Garis
yang ada dibelakang orang tersebut yang seperti motif sulur-suluran serta dapat
dilihat juga tekstur yang ada pada lukisan “di depan kelambu terbuka “ bahwa
tekstur tersebut terlihat ekspresif pada bagian kelambu, background dan raut
muka orang yang ada pada lukisan. Lukisan ini memiliki value pewarnaan yang
berbeda antara bagian bawah dan bagian atas lukisan, bagian bawah cenderung
lebih gelap dibangdingkan bagian atas lukisan yang terang namun tetap terlihat
seimbang. Sentuhan warna orange pada kain jarit memberikan kesan keseimbangan
pada warna hitam kain jarit. Meskipun pada bagian atas lukisan valuenya lebih
terang daripada bagian bawah lukisan, tetapi pada bagian atas diberikan sedikit
warna merah kusam untuk dapat menyeimbangkan komposisi lukisan. Pada sisi
bagian kiri atas lukisan terdapat gambar sulur-suluran berwarna hitam serta
gambar bunga berwarna merah dengan daun hitam untuk mengisi kekosongan lukisan
bagian kiri.
Lukisan yang berjudul ‘Di Depan Kelamboe Terboeka’ ini
dipamerkan pada saat pameran di Bataviasche Kunstkring. Lukisan ini menampilkan
sosok wanita yang sedang duduk dikursi. Biarpun tubuh itu dilukiskan tenang,
tetapi tidak demikian jiwanya. Terlihat pada penggambaran mata yang menatap
dengan tatapan yang tajam, seakan menyiratkan tentang berbagai hal yang ingin
diungkapkan. Gelora kehidupan yang kalut pada masyarakat, berkobar dalam roman
mukanya. Mata yang dilukisan itu bagai buku penghidupan bagi mereka yang
membacanya. Wajah pucat, mata hitam, dan mulutnya yang terkatup, adalah
perpaduan antara kesedihan, celaan, pertanyaan, dan mungkin kebencian.
Goresannya bebas dan imajinatif, sedangkan warnanya kuat tetapi halus dan tidak
menggunakan warna-warna yang mencolok. Secara keseluruhan lukisan itu
mengekspresikan perasaan kemanusiaan yang dalam. Seniman S. Sudjojono merupakan
seniman yang tergabung dalam PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia), yaitu
perkumpulan pertama di Jakarta yang berupaya mencerminkan kepribadian Indonesia
yang sebenarnya. Karya-karya yang dihasilkan mencerminkan tentang tema
perjuangan rakyat, mementingkan nilai-nilai psikologis, tidak terikat kepada
obyek alam yang nyata, memiliki kepribadian Indonesia, serta didasari oleh
semangat dan keberanian.
Pemilihan
warna yang pucat dan tidak mencolok, melambangkan suasana atau keadaan kelam
yang menyilimuti hatinya. Posisi duduk yang tenang dengan tangan kanan yang
diletakkan diatas kursi, seakan-akan berada pada posisi yang santai tetapi
serius. Seorang wanita yang ada pada lukisannya itu ternyata istri dari
sudjojono yang bernama Mia Bustam. Beliau adalah istri pertama dari S.Sudjojono
yang terkhianati cintanya oleh
S.Sudjojono karena Sudjojono telah mencintai wanita lain yaitu Rosalina
Poppeck seorang sekretaris dan penyanyi
selama beberapa tahun, yang kemudian dinikahinya sekaligus mengganti nama istri
barunya menjadi Rose Pandanwangi. Lukisan ini
menggambarkan tentang jiwa ketok tentang seseorang yang
duduk di bawah kelambu tapi tak ada cantik-cantiknya dalam artian seorang
wanita yang tampil apa adanya tanpa riasan untuk mempercantik wajahnya, ia
menunggu suaminya yaitu Sodjojono yang telah bersamanya dalam waktu lama hingga
akhirnya mereka mempunyai delapan anak. Namun penantian Ibu Mia Bustam terhadap
suaminya hanyalah sia-sia karena sang suami yaitu Sudjojono tidak akan kembali
lagi bersama Ibu Mia Bustam meskipun kelambunya tetap terbuka karena Sudjojono
telah menikah lagi dengan wanita lain dan Ibu Mia Bustampun akhirnya diceraikan.
Wajah yang pucat, tatapan tajam serta mulut yang terkatup menyiratkan
kekecewaan, kesedihan,
celaan, pertanyaan, dan kebencian.
Lukisan
Sudjojono yang berjudul ‘Depan Kelamboe Terboeka’ dapat menggambarkan realita
kehidupannya dan maknanya dapat ditangkap oleh orang yang melihatnya. Lukisan ini
juga mampu menyampaikan pesan yang ingin diungkapkan oleh seniman kepada
penonton atau publik. Selain itu lukisan ini juga memiliki ciri khas goresan yang berbeda dengan seniman lain
yaitu ekspresif namun dengan goresan ekspresifnya seniman mampu menampilkan
suasana yang terjadi pada lukisan tersebut seperti suasana kelam karena kesedihan,
kekecewaan, celaan, pertanyaan dan kebencian yang ditampilkan dalam lukisan
yang berjudul ‘Di Depan Kelamboe Terboeka’. Kombinasi warna cenderung pucat dan
keseimbangan lukisan ini sudah bagus.
1. Fenomena Budaya Visual
Sebenarnya tanda-tanda atau
keaksaraan visual sudah ada dari zaman prasejarah, tetapi tanda-tanda tersebut
hanya digunakan sebagai suatu ritual kepada dewa-dewa kepercayaan mereka.
Contoh tanda visual pada zaman prasejarah adalah pada gua leang-leang di
Sulawesi atau di Gua Lascaux Perancis. Di barat, budaya visual mulai meledak
sejak masa revolusi industri dimana tenaga manusia (manual) digantikan oleh
tenaga mesin. Hal ini memunculkan kekhawatiran para seniman pada saat itu akan budaya
visual ini, mereka takut jika karya-karya seni rupa yang dibuat dengan cara
manual akan tergantikan dengan teknologi. Tentu saja, ini memicu
gerakan-gerakan kontra terhadap industrialisasi yang dianggap menghapus sifat
manusiawi dalam seni dan pembuatan barang-barang manusia, maka dari itu dengan
munculnya revolusi industri tersebut, seniman membuat suatu karya yang baru
yang tidak dapat ditiru dengan menggunakan teknologi, salah satunya adalah
aliran seni surealisme yang tidak dapat ditiru oleh teknologi fotografi. Sampai
di masa modernisme hal ini juga masih menimbulkan pro dan kontra. Hal ini
dikarenakan masa modernisme menganut simplicity
(sederhana), bentuknya harus efektif dan efisien tidak memerlukan banyak
ornamen, banyak hiasan tetapi menganut form
follow function yang artinya adalah setiap bentuk harus mempunyai fungsinya.
Hal tersebut merupakan pengaruh sifat masyarakat yang modern yang masih
berlangsung sampai sekarang. Ciri masyarakat modern adalah suatu masyarakat
yang bersifat rasional, maka mereka menginginkan suatu seni yang efektif dan
efisien. Mulai pada saat inilah seni rupa dimanfaatkan pula untuk sarana yang
bersifat komersil demi mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya dan sebagian
besar mengesampingkan estetika bentuk. Contohya adalah iklan komersil permen
mintz, dalam iklan permen tersebut tidak mementingkan suatu keindahan di dalam
pembuatan iklan, tetapi iklan tersebut hanya mementingkan suatu keuntungan
produk permen semata, yang dipentingkan adalah masyarakat mengetahui akan
adanya brand permen tersebut (pesan
utama yang disampaikan). Contoh dari iklan permen mintz ini nyatanya banyak
digunakan oleh berbagai produsen. Namun masih ada pula produsen yang
memperhatikan estetika, seperti permen fox. Berbeda dengan iklan yang dari
permen fox misalnya, yang tidak hanya mementingkan pesan yang akan disampaikan
pada masyarakat tentang produknya, konsep dan budaya visual pun dikemas dengan
cantik. Dimana kesan elegan untuk keluarga dan sahabat tersampaikan jelas,
terlihat dari iklan maupun dari desain kemasan sangat diperhatikan bentuk
estetiknya, dan terlihat lebih eksklusif tidak hanya sekedar membuat iklan saja
tanpa memperhatikan keindahan.
Jika
menilik pada karya seni rupa yang ada di galeri-galeri seni saat ini, jelas
memiliki nilai estetis yang tinggi tetapi karya ini ditujukan untuk mencapai
rasa kepuasan dalam diri seniman dan para pemerhati seni saja, sifatnya
ekslusif. Namun ketika orang awan dihadapkan pada karya seni tersebut, maka
mereka cenderung tidak mengerti apa yang ingin disampaikan oleh seniman pembuat
karya. Oleh karena itu, fenomena budaya visual saat ini karya-karyanya lebih
mementingkan isi yang hendak disampaikan kepada khalayak luas sehingga pesan
visual, gagasan, konsep dan pencitraan ideologis pada karya bersifat universal,
dapat dipahami oleh masyarakat luas. Namun fenomena budaya visual ini tampaknya
belum begitu berpengaruh bagi iklan layanan masyarakat (ILM) yang sebagian
besar dikelola pemerintah di Indonesia. Kekhawatiran para seniman justu besar
pada ILM Indonesia daripada di iklan-iklan komersial, dimana ILM Indonesia
tetap saja terlihat ala kadarnya, pesan yang ingin disampaikan dalam poster
maupun iklan dalam berbagai media tidak dikemas dengan menarik. Hal ini
disebabkan karena pemerintah tidak dapat melihat potensi-potensi anak bangsa
yang kreatif dan hanya mementingkan suatu proyek semata sehingga khalayak yang
melihat iklan tersebut cenderung tidak tertarik dan mengabaikannya. Pesan
visual, gagasan, pencitraan ideologis tidak tersampaikan dan nilai estetispun
tidak ada. Sedangkan para anak muda kreatif yang mengetahui benar akan budaya
visual yang berkembang saat ini malah lebih condong ke periklanan komersial
karena ide dan kemampuan estetika mereka lebih dihargai dan mendapatkan
penghasilan tinggi, kembali mengingat ciri masyarakat modern yang rasional dan
mementingkan keuntungan.
2. Contoh kritik seni tentang fenomena budaya visual :Karya Seni Rupa Batik Printing Parang
Sumber : http://www.magpiesalmagundi.com/2012/05/yogyasolo-batik-2.html
|
Dengan meningkatnya pemakaian batik di kalangan masyarakat, baik sebagai busana maupun sebagai interior, maka munculah batik yang disebut dengan batik printing yang sekarang mendominasi pasaran dibandingkan dengan batik tulis dan cap. Selain harganya yang lebih murah dibandingkan dengan batik tulis maupun batik cap, mutu dan corak batik printing ini makin baik dan kian menarik. Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa batik printing bukanlah sebuah kain batik, melainkan adalah cita atau tekstil dengan motif batik. Sebenarnya pemakaian batik printing sah-sah saja asalkan yang memakai batik printing mengetahui bahwa itu bukanlah sebuah batik yang sesungguhnya.
Corak
dari batik printing di atas memang
terlihat seperti batik parang, tetapi itu bukanlah batik parang yang
sesungguhnya karena batik parang yang sesungguhnya adalah batik parang yang
dibuat dengan cara manual dan menggunakan bahan dan alat berupa canting dan
lilin, sedangkan pada batik printing
tidak menggunakan canting maupun lilin di dalam pembuatannya, hanya menggunakan
tinta pewarna kain, padahal karya seni batik yang sesungguhnya di catat pada
UNESCO adalah batik yang dibuat dengan canting dan juga lilin bukan seperti
batik printing yang pembuatannya
dengan cara dicetak.
Fenomena
saat ini, hampir setiap kalangan masyarakat mengenakan batik printing tanpa mereka mengetahui bahwa
yang mereka pakai bukanlah batik yang sebenarnya, yang masyarakat tahu dan
ikuti hanyalah trend menggunakan baju
batik tetapi tidak mengetahui batik apa yang mereka kenakan. Jika fenomena
budaya visual batik printing ini
terus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka title batik untuk Indonesia lambat laun
akan dicopot oleh UNESCO karena tidak sesuai lagi dengan apa yang sudah
dicatatkan pada UNESCO yaitu batik yang prosesnya menggunakan lilin dan
canting.
Pada
masa sekarang ini banyak perusahaan-perusahaan yang tidak mengetahui banyak
tentang batik, tetapi mereka memproduksi batik printing secara besar-besaran untuk mendapatkan suatu keuntungan
yang besar dengan biaya yang sangat minim sehingga masyarakat awan yang tidak
tahu mengenai batik akan tergiur dengan batik printing yang murah tanpa mengetahui kebenaran bahwa yang mereka
pakai bukanlah sebuah batik tetapi hanya kain yang bermotifkan batik.
Para
pembuat batik printing tidak
memperdulikan aspek estetik dari batik itu sendiri tetapi lebih mementingkan
pesan visual, gagasan, konsep atau pencitraan karya bahwa batik printing disamakan dengan batik yang
sesungguhnya, yang penting orang awan melihat itu batik tidak perduli pakem-pakem
batik yang sesungguhnya seperti apa. Dalam membuat batik tentunya harus
mengetahui aturan-aturan dan pakem-pakem di dalam membuat karya batik. Tanda-tanda
dari batik parang di atas dapat dilihat dari pembuatan gambarnya dibuat
menggunakan komputer sehingga corak batik parang terlihat kaku, tidak luwes.
Garis dalam gambar parang tersebut tebal dan tipisnya sama sehingga terlihat
monoton dan tidak dinamis, sedangkan batik parang yang asli batik tulis bentuk
parangnya terlihat lebih dinamis dan lebih indah, terdapat garis yang tebal,
ada garis yang tipis mengesankan bentuk yang dinamis. Pada gambar batik parang
di atas juga tidak memiliki isen, padahal dalam kain batik, selalu ada isen dan
juga terdapat gambar batik flora atau fauna yang digambarkan di antara parang satu
dengan parang yang lainnya sebagai variasi dan biasanya paling tidak terdapat
motif mlinjo di antara motif parang.
Batik
parang sebenarnya memiliki makna yang besar filosofinya bagi masyarakat Jawa
yaitu Batik parang ini memiliki makna petuah untuk tidak pernah menyerah,
ibarat ombak laut yang tak pernah berhenti bergerak. Batik Parang juga
menggambarkan jalinan yang tidak pernah putus, baik dalam arti upaya untuk
memperbaiki diri, upaya memperjuangkan kesejahteraan,
maupun bentuk pertalian keluarga.
Batik
Parang bahkan menggambarkan kain yang belum rusak, baik dalam arti memperbaiki
diri, kesejahteraan upaya mereka, serta bentuk hubungan dimana batik parang di
masa lalu adalah hadiah yang mulia untuk anak-anaknya. Dalam
konteks ini, pola berisi dewan orang tua untuk melanjutkan perjuangan parang
dilanjutkan.Garis diagonal lurus melambangkan penghormatan dan cita-cita, serta
kesetiaan kepada nilai yang sebenarnya. Dinamika
dalam pola parang ini juga disebut ketangkasan, kewaspadaan, dan kontituinitas
antara pekerja dengan pekerja lain.Batik Parang biasanya digunakan untuk acara
pembukaan. Misalnya: Senapati yang ingin pergi berperang, agar pulang membawa
kemenangan.
Berdasarkan
filosofi orang Jawa tersebut batik parang memiliki makna yang sangat dalam dan
orang yang memakai batik parang ini juga bukanlah orang sembarangan tetapi para
kaum-kaum yang memiliki kedudukan yang tinggi, tetapi seiiring berjalannya
waktu dan karena maraknya batik printing
di Negara kita ini, maka makna-makna tersebut sudah diabaikan, bahkan sekarang
bating printing parang dapat
didapatkan oleh siapa saja dan dipakai oleh siapa saja. Tetapi ada juga orang
yang tidak mempelajari estetika bentuk dari batik menggunakan motif batik
parang ini pada sandal, alangkah berdampak besar sekali fenomena visual saat
ini, orang yang tidak tahu tentang batik hanya mengikuti trend tanpa memperdulikan makna filosofis dari batik sehingga batik
menjadi turun derajatnya, dari yang seharusnya dipakai oleh kaum petinggi
sekarang malah diinjak-injak sebagai alas kaki.
Hal inilah yang menjadi kekhawatiran akan
dampak dari budaya visual yang disalah gunakan, dimana batik yang merupakan
kekayaan bangsa Indonesia yang sarat akan makna dan filosofi di dalamnya, yang
merupakan karya seni estetis bernilai tinggi mengalami penurunan derajat secara
drastis, namun ironinya hanya sebagian masyarakat melek seni yang menyadari hal ini. Selain penurunan makna, dampak
lainnya adalah pada para simbah pembuat batik yang saat ini semakin langka.
Peminatan kaum muda untuk belajar membuat batik juga makin berkurang karena ada
cara yang lebih cepat (teknologi mesin printing)
dan mereka mulai meninggalkan cara lama (canting dan lilin) yang sifatnya tidak
dapat direproduksi secara masal dalam waktu yang singkat dinilai tidak efektif
dan efisien. Oleh karena itu, generasi pembuat batik dari simbah simbah ini semakin
berkurang. Disamping itu apresiasi terhadap para pembuat batik ini juga makin
jarang ditemui. Hal inilah yang dikhawatirkan dimana nilai-nilai kepuasan,
sensitivitas, karya ekslusif yang dibuat oleh tangan lama kelamaan semakin
hilang dan warisan budaya ini akan punah di kemudian hari.
Tulisan yang menarik apalagi kalau di ambahkan sumbernya....
BalasHapus